Rabu, 08 Februari 2012


QARDH AL HASAN
(POLA ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT)

Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap
orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang
mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Namun
perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara
yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak
sesuai dengan syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan
saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan suatu
amanah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan
sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.

Kurangnya program-program efektif untuk mereduksi kesenjangan sosial yang
terjadi selama ini dapat mengakibatkan kehancuran, bukan penguatan perasaan
persaudaraan yang hendak diciptakan ajaran Islam. Syariah Islam sangat
menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata
sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Hasyr ayat 7, yakni “… kekayaan
itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu saja.”

Distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata bukan berarti sama rata
sebagaimana faham kaum komunisme, tetapi ajaran Islam mewajibkan setiap
individu untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang
seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.

Dalam literatur Ekonomi Syariah, terdapat berbagai macam bentuk transaksi
kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial, salah satu
berbentuk “qardh”. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata
lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada
saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial.

Landasan syariah transaksi Qardh adalah:

1. Al Qur’an Surah Al Hadid ayat 11:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak”

Landasan dalil dalam ayat di atas adalah kita diseru untuk “meminjamkan
kepada Allah”, yang artinya adalah kita diseru untuk membelanjakan harta di
jalan Allah. Selaras dengan itu, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada
sesama manusia” sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.

2. Al Hadits
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa: Rasulullah SAW berkata: “Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang
satunya adalah (senilai) shadaqah”

Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata: “Aku melihat pada
waktu malam di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis: Shadaqah dibalas 10
kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya: ‘Wahai Jibril mengapa qardh
lebih utama dari shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan
ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena
keperluan,’”

3. Ijma’
Para ulama sepakat bahwa Qardh boleh dilakukan, atas dasar bahwa tabiat
manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya, tidak ada
seorangpun yang memiliki segala sesuatu yang dibutuhkannya. Oleh karena itu,
pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia, dan Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.

Akad Qardh dapat diterapkan untuk membantu ummat dalam mengembangkan
usahanya, sehingga dapat terbentuk sebuah semangat wirausaha dalam sektor
industri kecil – mikro, yang pada akhirnya akan memacu percepatan ekonomi
kerakyatan berbasiskan syariah.

Qardh sebagai produk pembiayaan (permodalan) bagi usaha kecil – mikro
dikenal dengan istilah Qardh Al Hasan. Sifat Qardh tidak memberikan
keuntungan finansial bagi pihak yang meminjamkan. Dana Qardh Al Hasan dapat
bersumber dari dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS).

Qardh yang menghasilkan manfaat diharamkan jika disyaratkan, misalnya
seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada koleganya dengan syarat ia
dinikahkan dengan anaknya. Larangan ini sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW
yang melarang mereka yang melakukan Qardh dengan mensyaratkan manfaat. Jika
peminjam yang memberikan manfaat tambahan tanpa diminta atau disyaratkan,
maka hal itu dianggap sebagai hadiah.

Transaksi Qardh dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan.
Rukun Qardh adalah:
1. Peminjam (muqtarid);
2. Pemberi pinjaman (muqrid);
3. Dana (qard)
4. Serah terima (ijab qabul)

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Dana yang digunakan ada manfaatnya;
2. Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak.

Salah satu cara yang dituntut oleh ajaran Islam atas kewajiban kolektif
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu karena kekurangannya
adalah “lembaga zakat” yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Rukun
Islam. Secara teknik, zakat adalah kewajiban finansial seorang muslim untuk
membayar sebagian kekayaan bersihnya atau hasil usaha-usahanya jika kekayaan
tersebut telah melebihi nishab (kadar tertentu yang telah ditetapkan).

Zakat merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang
tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa
harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh
sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Pembayaran zakat oleh orang-orang kaya bukan merupakan suatu bentuk
pemihakan kepada si miskin, sebab si kaya bukanlah pemilik absolut dari
kekayaan tersebut, tetapi mereka hanya sebagai pembawa amanah atas kekayaan
tersebut. Setiap muslim yang sadar akan agama yang dipeluknya, tentu selalu
bersedia membayar zakat, jika ia bertindak secara rasional untuk menjamin
kehidupan jangka pendek dan jangka panjang serta mencari keridhoan Allah
dalam kekayaannya di dunia dan akhirat.

Namun yang terjadi di Indonesia pada umumnya, zakat yang diterima oleh Badan
Amil Zakat tidak signifikan dengan jumlah penduduk muslim yang ada, sebab
masyarakat condong menyalurkan zakat serta infak dan shadaqah (ZIS) secara
langsung kepada orang yang menurut mereka berhak menerimanya, sehingga
tujuan dari zakat, infak dan shadaqah sebagai dana pengembangan ekonomi
sulit diwujudkan. Dana zakat infak dan shadaqah (ZIS) pada saat ini,
sebagian besar, tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan yang sifatnya
temporer. Hal ini terjadi, bukan hanya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan
agama masyarakat itu sendiri, tetapi juga rendahnya kepercayaan masyarakat
untuk menyalurkan zakat, infak dan shadaqah melalui Badan Amil Zakat.

Sekiranya pendidikan yang benar tentang nilai-nilai Syariah Islam dan
penciptaan sebuah lingkungan sosial yang kondusif pada praktek ajaran Islam
dapat diusahakan dengan baik, maka mayoritas kaum muslimin, tentunya, tidak
akan menghindar membayar zakat dan akan bekerjasama sepenuhnya dengan
pemerintah dalam mendeteksi mereka yang bersedia membayar zakat.

Penciptaan lingkungan yang kondusif tersebut perlu digalang dengan kerjasama
antara pihak pemerintah, ulama, cendekia, akademisi, pengusaha, assosiasi
pengusaha, perbankan, media masa, LSM dan pihak pihak lain yang menginginkan
kemajuan sosio-ekonomi yang positif, sehingga terbentuk sebuah jaringan
sosio-ekonomi yang diciptakan dengan konsep yang matang dan dikelola secara
profesional, effektif dan efisien.

Pembagian dana zakat, termasuk dana infak dan sadaqah (ZIS) harus memberikan
preferensi yang memungkinkan si miskin untuk dapat berdikari, karena
merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menghidupi dirinya
sendiri. Dengan demikian zakat dapat menjadi suplemen pendapatan permanen
hanya bagi mereka yang tidak dapat menghidupi dirinya sendiri secara
mencukupi lewat usahanya sendiri. Bagi yang lain, zakat harus dipergunakan
hanya untuk bantuan keringanan temporer di samping sumber-sumber daya
esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materiil sehingga
memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Penggunaan dana
zakat, infak dan sedekah secara professional, melalui skim Qardh Al Hasan
akan memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi
yang menggalakan industri kecil dan mikro, dan akan berdampak mengurangi
pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Dengan demikian, kelebihan pemanfaatan dana yang bersumber dari zakat,
infaq, dan shadaqah (ZIS) sebagai produk Qardh al Hasan antara lain adalah:
1. Transaksi Qardh bersifat mendidik, dan peminjam (muqtarid) wajib
mengembalikan, sehingga dana tersebut terus bergulir dan semakin bertambah,
dan diharapkan peminjam nantinya juga dapat mengeluarkan zakat, infaq dan
shadaqah atas hasil usahanya sendiri;
2. Dana ZIS sebagai dana sosial, akan selalu dapat dimanfaatkan lagi untuk
peminjam berikutnya;
3. Adanya misi sosial kemasyarakatan melalui produk Qardh al Hasan, akan
meningkatkan citra baik dan loyalitas masyarakat terhadap ekonomi syariah
serta kesadaran masyarakat untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga yang
dipercayainya, sehingga dana tersebut tidak hanya menjadi sekedar dana
bantuan yang sifatnya sementara dan habis guna kebutuhan konsumtif semata;
4. Percepatan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasiskan syariah Islam
dapat diwujudkan menjadi sebuah kenyataan.


Penulis: MERZA GAMAL
(Pengamat Masalah Ekonomi Syariah & Praktisi Perbankan Syariah)
Publikasi: Harian Republika, Senin 09 Februari 2004, Rubrik Iqtishad


QORDH AL HASAN UNTUK KESEJAHTERAAN UMMAT

Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang. Perbedaan itu terjadi karena setiap orang memiliki ketrampilan, inisiatif, usaha dan resiko yang berbeda-beda pula. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin, karena bila demikian tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan suatu amanah. Maka tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber-sumber daya ditangan segelintir orang, sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al Hasyr ayat 7, yakni “..kekayaan itu tidak beredar dikalangan orang-orang kaya diantar kamu saja”.
Dalam upaya pemerataan pendapatan inilah, Baitul Maal Wat Tamwil hadir ditengah-tengah Ummat dengan berbagai macam bentuk transaksi kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial. Salah satunya berbentuk Qordh (Dana Kebajikan). Qordh adalah dana pemberian harta kepada orang lain, yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, qardh merupakan transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengebalian pinjaman. Adapun landasaan syariah transaksi qardhul hasan, antar lain, QS Al Hadid ayat 11: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”.
Ayat diatas menyeru kepada kita untuk “ meminjamkan kepada Allah”, yang artinya adalah kita diseru untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Sejalan dengan itu, kita juga diseru untuk”meminjamkan kepada sesama manusia” sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Sedangkan landasan dari hadist diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Rasulullah pernah berkata: “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shodaqoh” Hadist lainnya diriwayatkan Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW berkata : “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis : shodaqoh dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya: “Wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari shodaqoh?’ Ia menjawab:’Karena peminta, minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan”.
Para Ulama sepakat bahwa qardh boleh dilakukan, atas dasar bahwa tabiat manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala sesuatu yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia, dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
Akad qardh dapat diterapkan untuk membantu umat dalam mengembangkan usahanya. Qardh sebagai produk pembiayaan (permodalan) bagi usaha kecil dikenal dengan istilah Qardh Al Hasan. Dengan skim pembiayaan ini dapat terbentuk sebuah semangat wirausaha dalam sector industri kecil (baca:mikro), yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi ummat berlandaskan syariah.

sifat qardh tidak memberikan keuntungan financial bagi pihak yang memberikan pinjaman. Rasulullah juga melarang mereka yang melakukan qardh dengan mensyaratkan manfaat. Misalnya seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada koleganya, dengan syarat ia dinikahkan dengan anaknya. Lain halnya bila inisiatif memberikan manfaat itu datang dari peminjam, maka hal itu dianggap sebagai hadiah. Dana qardh al hasan dapat bersumber dari zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS). Transaksi qardh dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan. Rukun Qardh adalah, adanya : peminjam (muqtarid); pemberi pinjaman (muqrid); dana (qard), dan serah terima (Ijab – qabul). Sedangkan syarat yang harus dipenuhi adalah : dana yang digunakan ada manfaatnya; dan ada kesepakatan diantar kedua belah pihak.
Transaksi qardh ini dapat dikombinasikan dengan dana zakat. Sebagaimana kita pahami bersama, pemberian dana zakat, termasuk dana infak dan shodaqah (ZIS) harus memberikan preferensi yang memungkinkan si miskin untuk dapat mandiri dalam sebuah lingkunagn sosio-ekonomi yang mengembangkan industri kecil dan mikro, yang pada akhirnya akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Keunggulan pemanfaatan dana yang bersumber dari Zakat, Infaq dan shodaqoh (ZIS) sebagai produk Qardh al Hasan antara lain adalah :
1. Transaksi qardh bersifat mendidik, dan peminjam (muqtarid) wajib mengembalikan, sehingga dana tersebut terus bergulir dan semakin bertambah. Juga diharapkan, si peminjam setelah usahanya berhasil, nantinya juga dapat mengeluarkan zakat, infaq dan shodaqoh atas hasil usahanya sendiri. Dengan kata lain kita ingin mengubah kondisi peminjam sebagai mustahik (orang yang menerima zakat) menjadi muzaki (orang yang memberikan zakat).
2. Dana ZIS sebagai dana sosial, akan selalu dapat dimanfaatkan lagi untuk peminjam berikutnya (Dana bergulir).
3. Produk qard al hasan ini akan meningkatkan citra baik dan loyalitas masyarakat terhadap ekonomi syariah serta kesadaran masyarakat untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga yang dipercayainya, sehingga dana tersebut tidak hanya menjadi sekadar dana bantuan yang sifatnya sementara dan habis guna kebutuhan konsumtif semata
4. Percepatan pembangunan ekonomi ummat yang berbasiskan syariah islam dapat diwujudkan menjadi sebuah kenyataan.

k syariah ialah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi islam dengan karakteristik, yakni :
1. pelarangan riba dalam berbagai bentuk
2. tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money)
3. konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
4. tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulasif
5. tidak diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang
6. tidak diperkenankan dua transaksi dalam satu akad
Bank syariah beroperasi atas dasar konsep bagi hasil, dia tidak ada menggunakan bunga atas penggunaan dana dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.
Bank syariah dapat menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Transaksi yang dikatakan sesuai dengan prinsip syariah adalah sebagai berikut:
• Transaksi tidak mengandung unsur kedholiman
• Bukan riba
• Tidak membayarkan pihak sendiriatau pihak lain
• Tidak ada penipuan
• Tidak mengandung materi-materi yang diharamkan
• Tidak mengandung unsur judi
Kegiatan bank syariah dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Manajer investasi,yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akal mudharabah atau sebagai agen investasi
2. Investor, yang menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati natara bank dan pemilik dana.
3. penyedian jasa keuangan dan lalulintas pembayaran
4. pengembangan fungsi social, berupa pengelolaan zakat, shadaqah serta pinjaman kebajikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku


Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).

Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya. 
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) –karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan–, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima. 
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini : 
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram” 
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”. 
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya” 
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT : 
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : 
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”. 
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. 
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah). 
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik. 
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : 
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151) 
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103) 
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’. [ ] 

oleh: Muhammad Shiddiq Al Jawi

REFERENSI
An Nabhani, Taqiyyudin. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III. tp. Al Quds. Cet. II. 1953 
An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963 
An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992. 
Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996 
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989
Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985 
Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta. cetakan I. 1996
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936 
Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Darul Ilmi lil Malayin. Beirut. cetakan I, 1983



FUNGSI BANK SYARIAH
Apabila selama ini dikenal fungsi bank konvensional adalah sebagai intermediary (penghubung) antara pihak yang kelebihan dana dan yang membutuhkan dana selain menjalankan fungsi jasa keuangan, maka dalam bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional. Fungsi bank syariah yaitu manajer investasi, Investor, Jasa keuangan dan sosial. Fungsi-fungsi ini dapat diuraikan menjadi berikut :
1. Manajer investasi
Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting adalah sebagai manajer investasi, maksudnya adalah bahwa bank syariah tersebut merupakan manajer investasi dari pemilik dana yang dihimpun sangat tergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari bank syariah. Fungsi ini tidak banyak diketahui, dimengerti, dan dipahami oleh para bankir yang bekerja di bank syaria (bukan Bankir syariah), yang kebanyakan masih mempergunakan paradigma pola kerja bank konvensional. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah yang diharapkan mendapatkan hasil, mempunyai implikasi langsung kepada pemilik dana. Jika investasi yang dilakukan bank syariah mengalami pembayaran yang tidak lancar bahkan sampai macet, dapat mengakibatkan pendapatan yang diperoleh kecil dan pendapatan yang diterima oleh pemilik dana yang dihimpun menjadi kecil pula. Besarnya dana atau investasi yang dilakukan oleh bank syariah bukanlah otomatis pendapatan bagi hasil besar yang diterima oleh pemilik dana yang dihimpun.
2. Investor
Bank-bank menginvestasikan dana yang disimpan pada bank tersebut (dana pemilik bank maupun dana rekening investasi) dengan jenis dan pola investasi yang sesuai dengan syariah. Investasi yang sesuai dengan syariah tersebut meliputi akad Murabahah, sewa-menyewa, musyarakah, akad Mudharabah, akad salam atau istisna, pembentukan perusahaan atau akuisisi pengendalian atau kepentingan lain dalam rangka mendirikan perusahaan, memperdagangkan produk, dan investasi atau memperdagangkan saham yang dapat diperjual belikan. Keuntungan dibagikan kepada pihak yang memberikan dana, setelah bank menerima keuntungan Mudharibnya yang sudah disepakati sebelum pelaksanaan akad.
3. Jasa Keuangan
Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank non syariah, seperti misalnya memberikan pelayanan kliring, transfer,inkaso, pembayaran gaji dan sebagainya hanya saja yang sangat diperhatikan adalah prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar. Bank-bank islam juga menawarkan berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh imbalan atas dasar agency contract atau sewa. Contohnya meliputi Letter of guarantee,wire transfer, letter of credit,dll
4. Fungsi sosial
konsep perbankan islam mengharuskan bank-bank islam memberikan pelayanan sosial apakah melalui dana Qard (pinjaman kebajikan) atau Zakat dan dana sumbangan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Disamping itu, konsep perbankan islam juga mengharuskan bank-bank islam untuk memainkan peran penting di dalam pengembangan sumber daya manusianya dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan sosial.

LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH
Oleh karena karakteristik yang berbeda bank syariah dengan bank no syariah, atau akuntansi umum, maka membawa konsekuensi pelaporan yang harus diterbitkan,sehingga laporan keuangan bank syariah meliputi:
1. Laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syariah sebagai investor beserta hak dan kewajibannya,yang dilaporkan dalam:
i. Laporan posisi keuangan (Neraca)
Dalam unsur aktiva neraca Bank Syariah, beberapa hal yang berbeda dengan unsur neraca Bank Konvensional yang perlu dijelaskan. Dalam Bank Konvensional penyaluran dana hanya dicabut dalam perkiraan “kredit” atau “pinjaman yang diberikan”, hal ini sangat berbeda dengan Bank Syariah dimana dalampenyaluran dana dicabut dalam perkiraan yang sesuai dengan prinsip penyalurannya, yaitu: (a) prinsip jual beli dibukukan pada perkiraan “piutang”, seperti piutang murabahah, piutang istishna, piutang salam, (b) prinsip bagi hasil dicabut dalam perkiraan “pembiayaan”. Seperti pembiayaan mudharabah, dan pembiayaan musyarakah, dan (c) prinsip Ijarah dicatat dalam perkiraan “aktiva ijarah” .
ii. Laporan Laba Rugi
Beberapa unsur laporan laba rugi yang ada dalam laporan laba rugi bank syariah adalah:
• Pendapatan operasi utama
• Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat
• Pendapatan operasi lainnya
• Beban-beban
iii. Laporan Arus Kas
Laporan arus kas disajikan sesuai dengan PSAK 2: Laporan Arus Kas dan PSAK 31: Akuntansi Perbankan.
iv. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan ekuitas disajikan sesuai dengan PSAK 1: Penyajian Laporan Keuangan.

2. Laporan keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola oleh bank syariah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atas agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat. Laporan perubahan dana investasi terikat ini memuat laporan dari Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat) dengan penyaluran Chanelling. Untuk investasi terikat dengan pola penyaluran Executing dilaporkan dalam neraca (on balance sheet); dan

3. Laporan keuangan yang mencerminkan peran bank syariah sebagai pemegang amanah dana kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah, yang dilaporkan dalam:

i. Laporan posisi keuangan (neraca);
ii. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infaq dan shadaqah mempunyai unsur dasar yang meliputi: sumber dana, penggunaan dana selama suatu jangka waktu, serta saldo dana zakat, infak, dan shadaqah pada tanggal tertentu;
iii. Laporan sumber dan penggunaan dana al-qardhul hasan ini memuat tentang penerimaan dan penyaluran Al-Qardh yang sumber dananya berasal dari pihak ekstern. Untuk penyaluran Al-Qardh yang sumber dananya berasal dari intern dilaporkan dalam neraca (on balance sheet).
Apabila diperbandingkan dengan laporan keuangan yang harus dibuat dalam bentuk konvensional, yang diatur dalam PSAK 31, adalah sebagai berikut:
Bank Konvensional (PSAK 31) Bank Syariah (PSAK 59)
1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Laporan Keuangan 1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Laporan Keuangan
6. Laporan Investasi Terikat
7. Laporan sumber dan penggunaan dana Al-qardhul hasan
8. Laporan sumber dan penggunaan dana ZIS

TUJUAN AKUNTANSI KEUANGAN BANK SYARIAH
Akuntansi keuangan terutama berkaitan dengan penyediaan informasi untuk membantu para pemakai di dalam pengambilan keputusan. Mereka yang berurusan dengan bank-bank islam mempunyai kepedulian untuk mematuhi dan mencari ridho Allah di dalam urusan keuangan dan urusan lain mereka. Allah berfirman: ” Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (Surah 2: ayat 168). Sasaran dari akuntansi keuangan bagi bank-bank lain kebanyakan ditetapkan di Negara-negara bukan islam. Oleh karena itu, adalah wajar terdapat perbedaan antara sasaran-sasaran yang ditetapkan bagi bank-bank lain dan bank-bank yang akan ditetapkan untuk bank-bank islam. Perbedaan ini terutama dari perbedaan di dalam sasaran-sasaran dari mereka yang memerlukan informasi akuntansi dan dengan demikian juga informasi yang mereka butuhkan. Tetapi, ini tidak berarti kita menolak semua hasil-hasil dari pemikiran akuntansi modern di Negara-negara non-islam. Ini karena ada sasaran-sasaran yang sama antara para pemakai informasi akuntansi Muslim dan non-Muslim. Sebagai contoh, investor Muslim dan non-Muslim sama-sama ingin meningkatkan kekayaan mereka dan mendapatkan hasil yang bias diterima dari investasi mereka. Ini adalah keinginan yang sah yang telah diakui di dalam syariah yang sesuai dengan firman Allah: “Dan Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya”.(kutipan dari Surah 67:15).
Tujuan akuntansi bank syariah adalah:
1. Menentukan hak dan kewajiban pihak terkait, termasuk hak dan kewajiban yang berasal dari transaksi yang belum selesai dan atau kegiatan ekonomi lain, sesuai dengan prinsip syariah yang berlandaskan pada konsep kejujuran, keadilan, kebajikan, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai bisnis islami.
2. Menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pemakai laporan untuk pengambilan keputusan.
3. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.

TUJUAN LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH
Suatu laporan keungan bermanfaat apa bila informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut dapat dipahami, relevan, andal dan di perbandingkan, akan tetapi, perlu disadari pula bahwa laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bank karena secara umum laporan keuangan hanya menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian masa lalu dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan.
Tujuan laporan keuangan adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan putusan investasi dan pembiayaan.
Laporan keuangan bertujuan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang rasional.pihak-pihak yang berkepentingan antara lain:
• Shahibul maal/pemilik dana
• Kreditur
• Pembayar zakat,infaq dan shadaqah
• Pemegang saham
• Otoritas pengawasan
• Bank Indonesia
• Pemerintah
• Lembaga penjamin simpanan
• masyarakat
2. Menilai prospek arus kas
Pelaporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung investor/pemilik dana, kreditur dan pihak-pihak lain dalam memperkirakan jumlah,saat dan ketidakpastian dalampenerimaan kas dimasa depan atas deviden, bagi hasil,dan hasil dari penjualan, pelunasan (redemption), dan jatuh tempo dari surat berharga atau pinjaman
3. Informasi atas sumberdaya ekonomi
Pelaporan keuangan bertujuan memberikan informasi tentang sumberdaya ekonomi bank (economic resources), kewajiban bank untuk mengalihkan sumberdaya tersebut kepada entities lain atau pemilik sama
4. Kepatuhan bank terhadap prinsip syariah.
Laporan keuangan memberikan informasi mengenai kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, serta informasi pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah
5. Laporan keuangan memberikan informasi untuk membantu evaluasi pemenuhan tanggung jawab bank terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikanya pada tingkat keuntungan yang layak,dan informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh pemilik dana tersebut
6. Pemenuhan fungsi sosial laporan keuangan memberikan informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan panyaluran dana
ASUMSI DASAR
Asumsi dasar konsep akuntansi bank syariah sama dengan asumsidasar konsep akuntansi keuangan secara umum, yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual serta pendapatan untuk tujuan penghitungan bagi hasil menggunakan dasar kas




PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari semua pembahasan yang telah dipaparkan tadi maka dapat disimpulkan bahwa “Kegiatan bank syari’ah” adalah kegitan yang merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan macam-macam karakteristik, conyoh yang riil adalah “riba” dalam bentuk hal apapun, didalam agama Islam riba dalam jenis apapun itu adalah haram hukumnya.
Didalam kegiatan bank tersebut ada pula laporan keungan, dan semua ini tidak luput dar apa yang sedang kita pelajari sekarang, salah satunya adalah laporan posisi keungan (Neraca).
Didalam kegiatan bank syari’ah yang dituju adalah untuk membantu para pemakai (informasi) didalam mengambil keputusan mereka, yang berurusan dengan bank-bank Islam untuk mempunyai kepedulian dan mematuhi ajaran-ajaran Alla SWT sekaligus mencari ridho-Nya dalam urusan Keungan dan urusan lainnya.

B. Saran dan Keritik
Dalam pembuatan makalah ini hanya diterapkan teorinya saja tetapi kita juga dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dari apa yang telah kita ketahui bersama dalam makalah ini.
Kurang lebihnya kami minta maaf jikalau dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekeliruan yang kami perbuat, sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.
Saran dan keritik pembaca kami butuhkan dan kami terima apa adanya. 

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus