PEMBAHASAN
A. Pengertian Asuransi
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun
1992 Pasal 1 :
“Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Pada hakekatnya
asuransi adalah suatu perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan
perusahaan asuransi (penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada
perusahaan asuransi.
Resiko yang
dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian material yang dapat dinilai dengan
uang yang dialami nasabah, sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang
mungkin/belum pasti akan terjadi (Uncertainty of Occurrence & Uncertainty
of Loss). Misalnya :
- Resiko terbakarnya bangunan dan/atau Harta
Benda di dalamnya sebagai akibat sambaran petir, kelalaian manusia, arus
pendek.
- Resiko kerusakan mobil karena kecelakaan lalu
lintas, kehilangan karena pencurian.
- Meninggal atau cedera akibat kecelakaan, sakit.
- Banjir, Angin topan, badai, Gempa bumi, Tsunami
Setiap asuransi pasti bermanfaat,
yang secara umum manfaatnya adalah :
- Memberikan jaminan perlindungan dari
risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
- Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu
secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan
perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
- Transfer Resiko; Dengan membayar premi yang
relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian
atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
- Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan
mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu
mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu
dan tidak pasti.
- Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit
karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan
oleh peminjam uang.
- Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar
kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal
ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
- Menutup Loss of Earning Power seseorang atau
badan usaha
Contohnya, seorang pasangan membeli
rumah seharga Rp.
100 juta. Mengetahui bahwa kehilangan rumah mereka akan membawa mereka kepada
kehancuran finansial, mereka mengambil perlindungan asuransi dalam bentuk
kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan tersebut akan membayar penggantian atau
perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana. Perusahaan asuransi mengenai
mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko kehilangan rumah telah
disalurkan dari pemilik rumah ke perusahaan asuransi.
B.
Sejarah
Asuransi
Diharapkan
dengan mengawali pengetahuan tentang Sejarah Asuransi dengan lebih mudah karena
akan lebih menghayati atau menjiwai tentang latar belakang dan asal
usulnya. Dari penggalian sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia,
sejak zaman sebelum masehi ditemukan riwayat asal usul sampai perkembangan
asuransi seperti sekarang ini. Pada perkembangan awalnya asuransi tentu belum
berbentuk seperti sekarang, namun dalam bentuk yang masih samar. Manusia pada
umumnya mempunyai naluri selalu berusaha menyelamatkan jiwanya dari berbagai
ancaman, termasuk ancaman kekurangan makan/pangan.
Salah satu
riwayat mengenai masalah ini tercantum pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43 – 49
dan Kitab Injil Perjanjian Lama Genesis 41. Diriwayatkan tentang salah seorang
Raja di Negeri Mesir yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang kurus-kurus
masingrmasing menelan seekor sapi yang gemuk. Dalam mimpinya yang kedua Raja
melihat tujuh butir gandum yang kosong. Nabi Yusuf A.S. diminta menafsirkan
mimpi tersebut dan menerangkan bahwa negara Mesir akan mengalami tujuh tahun
berturut-turut panen gandum yang subur dan kemudian tujuh tahun berikutnya
berturut-turut akan mengalami masa paceklik. Selanjutnya NabiYusuf AS. memberi
saran agar pada saat panen yang melimpah itu sebagian panen dicadangkan untuk
masa paceklik yang akan datang. Selain itu sebuah buku kuno dari India yang
dinami “Rig Veda” yang ditulis dalam bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat
tentang “Yoga Kshema” yang berarti pertanggungan. Riwayat di atas adalah
sebagai bukti bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidupan
masa depannya.
Sekitar tahun
2250 SM bangsa Babylonia hidup di daerah lembah sungai Euphrat dan Tigris
(sekarang menjadi wilayah Irak), pada waktu itu apabila seorang pemilik kapal
memerlukan dana untuk mengoperasikan kapalnya atau melakukan suatu usaha
dagang, ia dapat meminjam uang dari seorang saudagar (Kreditur) dengan
menggunakan kapalnya sebagai jaminan dengan perjanjian bahwa si Pemilik kapal
dibebaskan dari pembayaran hutangnya apabila kapal tersebut selamat sampai
tujuan, di samping sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul
oleh pemberi pinjaman. Tambahan biaya ini dapat dianggap sama dengan “uang
premi” yang dikenal pada asuransi sekarang. Di samping kapal yang dijadikan
barang jaminan, dapat pula dipakai sebagai jaminan berupa barang-barang muatan
(Cargo). Transaksi seperti ini disebut “RESPONDENT/A CONTRACT”.
C.
Sejarah
Asuransi Di Indonesia
Bisnis asuransi
masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu
disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat
berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri
jajahannya.
Untuk menjamin
kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian
usaha pera.suransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni
zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman
kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga
setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan.
Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan
itu adalah :
- Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang
Belanda.
- Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor
Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris
dan di negeri lainnya.
Dengan sistem
monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di
Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda,
Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal
oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi.
Jenis asuransi
yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas
dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi
kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor
masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing
lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi
kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di
Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan
asuransi milik Belanda dan Inggris
D. Asuransi Zaman Kemerdekaan
Setelah
Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi
di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di
Indonesia masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris.
Pada awal
mulanya beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut
“Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun 1946, yang melakukan kegiatan
asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing
anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini
dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi
masih kurang sekali.
Pada tahun
1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV.
Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI
PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional
yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi
asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis.
Dengan
berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha
nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi kerugian.
Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor
hams diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi
pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri.
Pada tahun
1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang
reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar
premi reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal
ini, didirikanlah pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional,
yakni “PT. REASURANSI .UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank
pemerintah.
Lembaga yang
tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengikat untuk
perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan
reasuransi nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini
memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum Indonesia pada
tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa.
Pada saat PT.
Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi
kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh
persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing.
Pada waktu
perjuangan mengembaiikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah
melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris
dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.
E. Asuransi
Syari’ah
Sesuai dengan namanya “ Asuransi
Syari’ah”, maka jelas bahwa asuransi berbasis syari’ah (menganut
prinsip-prinsip syari’ah) dalam penerapan dan sistem kerjanya. Ada beberapa
perbedaan mendasar yang membedakan antara asuransi syari’ah dengan asuransi
konvensional, antara lain :
a. Akad (perjanjian) pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong
menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.
b. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada
asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik
perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
c.
Investasi dana pada asuransi
syariah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi
konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya.
d.
Asuransi syariah tidak mengenal
dana hangus dalam mekanismenya. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali. Kecuali sebagian dana
kecil yang telah diniatkan untuk tabarru (sumbangan/derma). Sedangkan asuransi
konvensional menerapkan kebijakan dana hangus bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan pembayaran premi.
e.
Pembayaran klaim pada asuransi
syariah diambil dari dana tabarru (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak
awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana
tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi
konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
f.
Pada asuransi syariah, pembagian
keuntungan dibagi berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah) antara perusahaan
dengan peserta asuransi, sesuai dengan proporsi yang telah ditentukan.
Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan
g.
Asuransi syariah mempunyai Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi pengelolaan dana investasi dan
produk yang dipasarkan. Sedangkan pada asuransi konvensional tidak ditemukan
Dewan Pengawas Syariah. namun setara dengan dewan komisaris dalam sebuah struktur oraganisasi perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar