Nama : Iwan Ranto
Fakultas Syariah IAIN AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Syuf’ah
Al-Syuf’ah
menurut bahasa berarti teman sekongsi atau serikat, Sedangkan menurut istilah
ialah :
·
Pemilikan
oleh salah seorang sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan
paksaan terhadap benda syirkah atau
·
Hak Prioritas
yang diberikan kepada pihak (serikat) terdahulu atas pihak (serikat) yang baru
terhadap kepemilikan yang bisa diperjualbelikan dengan jalan paksaan atau
·
suatu
hak memiliki dengan jalan paksa yang menjadi hak bagi ahli syarikat yang lama
terhadap ahli syarikat yang baru mengenai sesuatu yang dimiliki dengan cara
pertukaran
Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa
sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian,
A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui
cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. Jadi pengambilan
harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar
tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus
harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah
Persekutuan yang ingin melepaskan
haknya dari anggota pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu
menawarkan kepada para pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih
dahulu maka, orang orang yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual
haknya, dapat melakukan syuf’ah.
قَضاى
رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ
لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ
شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ
فَهُوَ اَحَقُّ بِه
Rasulullah sawِ telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan
terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan
itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika
seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh
partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh
meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya
dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak
atas bagian yang dijual tersebut[1]
B.
Rukun dan Syarat Syuf’ah
Rukun
Syuf’ah tiga perkara :
·
Syaaf’i,
orang yang melakukan syuf’ah
·
Masyfu,
obyek syuf’ah
·
Masyfu
minhu, orang yang dilakukan suf’ah dari padanya
1.
Syafi’
atau orang yang melakukan syuf’ah syaratnya hendaklah ia ahli syarikat, dalam
arti kata bahwa ia dan orang yang dilakukan syuf’ah daripadanya itu adalah
sama-sama memiliki harta tersebut, yang harta itu adalah bercampur sehingga
tidak dapat dibedakan lagi kepunyaan masing-masing[2]
Dalam hadist
riwayat khomsah dari jabir r.a dinyatakan :
قضى
رسول الله ص م بالشفعة فى كل ما لم يقسم فاذاوقعدت الحدودوصرفة الطرق فلاشفعة
“Rasulullah Saw, menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang
tidak dipecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan sudah
jelas, maka tidak ada Syuf’ah.[3]
Orang orang yang tidak termasuk
sebagai anggota persekutuan atas benda yang sudah dijual tidak berhak sama
sekali melakukan syuf’ah. Kalau sekiranya benda yang dimiliki secara bersekutu
itu sudah ditentukan bagian masing masing, syuf’ah juga tidak bisa dilakukan,
sebab pemilikan bukan lagi sebagai milik bersama. Ketentuan ini didasarkan atas
hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
اَنّ
رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيه وَسَلم قَضاى بِالشُّفْعَةِ فِيمَالَمْ يُقْسَمْ
بَيْنَ الشُرَكَاءِ فَإِذا وَقَعَتِ الْحُدُودُ بَيْنَهُمْ فَلاَ شُفعَةَ
“ Rasulullah sudah menetukan bahwa hak syuf’ah hanya berlaku atas
pemilikan sesuatu yang belum dibagi. Apabila sudah dibagi serta hak masing
masing pemilik sudah ditentukan, syuf’ah tidak ada lagi “
Dengan redaksi yang agak berbeda, tapi maksudnya sama, ada riwayat lain yang menyebutkan:
Dengan redaksi yang agak berbeda, tapi maksudnya sama, ada riwayat lain yang menyebutkan:
الْجَارُ
اَحَقُّ بِشُفْعَةِ جَارِهِ يَنْتَظِرُ بِهَا وَإِنْ كَانَ غَاءِبًا اِذَا كَانَ
طَرِيْقُهُمَا وَاحِدًا
“ Tetangga adalah orang yang paling berhak atas syuf’ah tetangganya.
Ia boleh menunggu tetangganya itu bila ia tidak ada ditempat bila memang cara
demikian yang bisa dilakukannya.[4]
Dua buah riwayat di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hak
syuf’ah hanya ada bagi anggota anggota yang masuk dalam perserikatan (syarikah)
kepemilikan itu. Orang yang tidak tergabung dalam perserikatan itu tidak berhak
atas syuf’ah. Pendapat ini merupakan pendirian jumhur ulama. Akan tetapi,
pengikut Imam Hanafi tidak dapat menerima pandangan tersebut. Menurut kelompok
ini, hak syuf’ah itu juga dimiliki oleh tetangga atas barang tetangganya.
Golongan Hanafiah ini berpendapat bahwa hak syuf’ah itu bertingkat tingkat.
Tingkat pertama terdapat pada syafi’ yang merupakan anggota persekutuan
pemilikan yang belum dibagi, kemudian anggota persekutuan yang bagian masing
masing telah ditentukan, dan yang terakhir adalah para tetangga.[5]
Alasan yang dipakai oleh kelompok ini ialah hadis Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi, yang berbunyi:
جَارُا
لدَّارِ اَحَقُ بِدَارِ جَارِهِ
“ Tetangga
itu lebih berhak atas rumah tetangganya. “
الجَارُ
اَحَقُ بِسَقَبِهِ
“ Tetangga
itu lebih berhak atas barang barang yang disekelilingnya. “
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang perlu disadari ialah bahwa adanya hak syuf’ah itu bertujuan untuk menjaga dan memelihara ketentraman bersama. Para anggota perserikatan pemilikan hendaknya jangan terganggu ketentramannya dan tidak boleh dirugikan hak haknya. Bila sekiranya, dalam kondisi tertentu, penjualan sesuatu hak milik seseorang kepada orang lain alan dapat mengganggu ketentraman tetangganya sudah temtu adanya hak syuf’ah bagi tetangga itu dapat dipertimbangkan
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang perlu disadari ialah bahwa adanya hak syuf’ah itu bertujuan untuk menjaga dan memelihara ketentraman bersama. Para anggota perserikatan pemilikan hendaknya jangan terganggu ketentramannya dan tidak boleh dirugikan hak haknya. Bila sekiranya, dalam kondisi tertentu, penjualan sesuatu hak milik seseorang kepada orang lain alan dapat mengganggu ketentraman tetangganya sudah temtu adanya hak syuf’ah bagi tetangga itu dapat dipertimbangkan
2.
Masyfu,
obyek syuf’ah
Obyek syuf’ah,
yaitu barang yang berhak dibeli secara paksa (al masfuu’ ‘alaih). Para ulama
sepakat akan adanya hak syuf’ah terhadap al masyfuu’ ‘alaih yang berbentuk
benda yang tidak bergerak, seperti tanah, rumah, dan sejenisnya. Alasan yang
mereka kemukakan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyebutkan:
قَضاى
رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ على كُلِّ شِرْكَةٍ
لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ
“Rasulullah sawِ telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas segala macam
perserikatan yang tidak dapat dibagi terhadap rumah atau kebun.”
Penyebutan rumah dan kebun dalam riwayat tersebut dijadikan alasan bahwa kepemilikan bersama itu berlaku atas benda benda sejenis yang tidak dapat dibagi.
Akan tetapi pandangan ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa syuf’ah itu bukan hanya bisa terjadi atas barang yang tidak bergerak, tetapi juga berlaku terhadap barang barang bergerak. Penyebutan dua jenis benda di atas bukan merupakan bukti pembatasan atas benda tidak bergerak, tetapi dikaitkan dengan benda yang dimiliki secara bersama. Bila bahaya bisa terjadi pada benda tidak bergerak, hal ini juga bisa terjadi pada barang bergerak. Jika demikian, hak syuf’ah bisa berlaku terhadap benda tidak bergerak maka syuf’ah juga berlaku atas benda bergerak. Dengan alasan ini, maka jenis benda apa saja bisa berlaku hak syuf’ah sepanjang adanya pemindahan itu diizinkan atau mengganggu ketentraman anggota perserikatan.
Adapun argumen yang mereka pakai yang didasarkan atas riwayat adalah hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
Penyebutan rumah dan kebun dalam riwayat tersebut dijadikan alasan bahwa kepemilikan bersama itu berlaku atas benda benda sejenis yang tidak dapat dibagi.
Akan tetapi pandangan ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa syuf’ah itu bukan hanya bisa terjadi atas barang yang tidak bergerak, tetapi juga berlaku terhadap barang barang bergerak. Penyebutan dua jenis benda di atas bukan merupakan bukti pembatasan atas benda tidak bergerak, tetapi dikaitkan dengan benda yang dimiliki secara bersama. Bila bahaya bisa terjadi pada benda tidak bergerak, hal ini juga bisa terjadi pada barang bergerak. Jika demikian, hak syuf’ah bisa berlaku terhadap benda tidak bergerak maka syuf’ah juga berlaku atas benda bergerak. Dengan alasan ini, maka jenis benda apa saja bisa berlaku hak syuf’ah sepanjang adanya pemindahan itu diizinkan atau mengganggu ketentraman anggota perserikatan.
Adapun argumen yang mereka pakai yang didasarkan atas riwayat adalah hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
جَعَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شَيْءٍحَالٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah menetukan bahwa hak syuf’ah itu bisa berlaku atas
segala jenis harta.”[6]
أَنّ
رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ الشَّرِيْكُ شَفِيْعٌ
وَالشّفْعَةُ فِى كُلّ شَيْءٍ
“Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda : Perserikatan (persero) itu
adalah pemilik hak syuf’ah,dan syuf’ah berlaku atas segala sesuatu benda.”
Syaratnya
·
Hendaklah
ia tidak dipindahkan
·
Hendaklah
ia dapat dibahagi-bahagikan. Maksudnya hendaklah manfaat itu tidak hilang jika
harta itu dibaha-bahagi seperti sebidang tanah yang besar, ia boleh dijadikan
dua buah rumah, dan ahli-ahli syarikat itu boleh menggunakan manfaatnya ia
dibahagi. Dan adalah tidak boleh syuf’ahitu dilakukan jika umpamanya tanah itu
kecil yang mana ia tidak boleh dijadikan dua buah rumah.
·
Hendaklah
ia dimiliki oleh orang yang dilakukan syuf’ahdari padanya dengan cara
pertukaran. Seperti harta itu dibeli oleh orang yang dilakukan syuf’ah daripadanya,
seperti ia dimiliki dengan jalan pusaka, atau hadiah, maka syuf’ah adalah tidak
harus dilakukan dalam perkara ini.
3.
Masyfu
minhu, orang yang harus menjual kembali
harta syuf’ah kepada anggota syarikah (al masfuu’ fih). Para ulama sepakat
bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota syarikah
ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui jual beli
atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syuf’ah bagi tetangga. Adapun
pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para fuqaha.[7]
Menurut Hanafiah, syuf’ah hanya terdapat pada pemindahan hak milik
melalui jual beli, bukan melalui pemindahan di luar jual beli. Di samping itu
ulama Malikiah berpendapat bahwa syuf’ah itu hanya bisa terjadi pada pemindahan
hak milik melalui imbalan yang tidak mesti hanya jual beli saja. Hal seperti
ini dapat terjadi melalui perdamaian, mahar, diyat, dan lain lain. Pendapat
serupa juga dikemukakan oleh imam Syafi’i. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa
syuf’ah bisa pula terjadi atas sesuatu pemindahan hak milik, kecuali pewarisan.[8]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lahan yang wajib dan tidak wajib dihukumi Syuf`ah
1.
Harta
yang tidak bergerak (real estate)
Ulama
Syafi`i membagi jenis harta tersebut kepada tiga bagian:
a.
Harta
yang dipindahkan, baik dijual terpisah ataupun bersamaan dengan tanahnya, atas
hal ini ulama syafi`i tidak menghukuminya dengan syuf`ah.
b.
Tanah,
Wajib dihukumi syuf`ah baik dijual sebagian atau bersamaan dengan harta yang
dapat dipindahkan.
c.
Harta
yang asalnya dapat dipindahkan kemudian menjadi tetap dalam tanah untuk
selamanya seperti bangunan dan pepohonan maka dihukumi syuf`ah akan tetapi
apabila dijual terpisah maka tidak dihukumi Syuf`ah sebab termasuk harta yang
dipindahkan.
2.
Harta
yang tetap/permanen. Maksudnya jika ada hal lain yang dibangun diatas atap maka
tidak dihukumi syuf`ah sebab baginya tidak memiliki tanah dan tidak konstan
seperti harta yang dipindahkan. Syuf`ah titetapkan sebab bersatunya dengan tanah
dan dinding.
3.
Harta
yang bisa dibagi.
Syuf`ah hanya ditetapkan pada harta yang bisa dibagi dengan tujuan mencegah
Syuf`ah hanya ditetapkan pada harta yang bisa dibagi dengan tujuan mencegah
·
adanya
pihak yang bisa dirugikan
B.
Cara melakukan syuf’ah
Syuf’ah
haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artian bahwa syaafi’ hendak melakukan
syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan
hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah
tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.[9]
Adapun
kadar ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama
dengan harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengna pembeli,
serta tidak boleh kurang. Bagi fuqaha yang membolehkan syuf’ah karena
pemindahan hak milik bukan melalui jual beli, maka pelaksanaan syuf’ah
dilakukan dengan cara memperkirakan nilai harga bagian yang dipindahmilikkan
itu. Kalau sesuatu itu terbatas kadarnya karena syara’, sepertti diyat pelukaan
yang menghilangkan tulang, maka ganti rugi yang harus ditebus sebagai imbalan
syuf’ah didasarkan atas imbalan perlukaan tersebut.
Persoalan
yang dikemukakan diatas pada dasarnya adalah pelaksanaan syuf’ah yang
syaafi’nya hanya satu orang, sehingga syuf’ah tidak mesti dibagi, sebab setelah
syuf’ah dilakukan maka pemilikan terhadap benda yang di syuf’ah itu akan
menjadi milik utuh dari seorang syaafi’.[10]
Dengan keadaan yang demikian, benda itu akan menjadi milik pribadi
secara keseluruhan oleh syaafi’ itu serta persekutuan pemilikan terhadap benda
yang sebelumnya terjadi akan berakhir. Lalu bagaimana jika syaafi’ itu lebih
dari satu orang? Lantas berapa hak mereka atas barang yang di syuf’ah itu?
Persoalan ini tidak ada ketentuannya dari nash secara pasti.
Menurut pendapat Imam Malik, Syafi’i, serta jumhur fuqaha madinah,
pembagian benda syuf’ah tersebut didasarkan pada besar kecilnya hak masing
masing syaafi’ terhadap pemilikan bersama itu. Siapa yang memiliki hak terbesar
ialah yang yang paling banyak menerima masyfu’, dan orang yang paling kecil
haknya akan mendapatkan hak masyfu’ paling sedikit, serta jika hak mereka sama
maka akan mendapatkan bagian yang sama banyaknya. Jadi, besarnya bagian para
syafi’ dihitung atas persentase pemilikannya atas suatu perserikatan, bukan
didasarkan atas pembagian rata rata para anggota.
Fuqaha kuffah tidak setuju dengan cara pembagian yang demikian.
Bagi kelompok yang disebut terakhir ini, persentase pemilikan tidak bisa
menjadi ukuran, karena suatu benda itu dasar pemilikannya adalah bersama atau
bersekutu. Syuf’ah hanya bisa terjadi karena hak milik itulah, dan makanya
hanya hak miliklah yang harus dijadikan dasar pertimbangan. Dalam hal ini,
kelompok ulama ini berpendapat bahwa syuf’ah itu adalah milik bersama diantara
mereka yang berserikat dalam emilikan, dan oleh sebab itu pembagiannya haruslah
sama rata antar syaafi’.
C.
Pewarisan Syuf’ah
Malik,
penduduk hijaz, dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah dapat diwariskan
dan tidak batal karena adanya kematian. Jika seseorang berhak memperoleh
syuf’ah, kemudian meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak atau belum
mengetahui atau ia tahun tetapi meninggal sebelum dapat melakukan pengambilan,
maka haknya beralih kepada ahli waris.
Menurut
imam ahmad syuf’ah tidak dapat diwariskan, kecuali jika mayat
menuntutnya. Sedangkan menurut mazhab hanafi, syuf’ah tidak dapat
diwariskan dan tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut syuf’ah, kecuali
jika hakimt telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.
D.
Tindakan Pembeli
Tindakan pembeli terhadap harta sebelum Syafi’i menerima syuf’ah
dinyatakan sah karena ia bertindak terhadap miliknya. Jika suatu ketika pembeli
menjualnya lagi kepada orang lain, Syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap
salah satu dari dua penjualan .
Jika pembeli hartanya menghibahkannya, mewakafkannya,
menyedekahkannya atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan syuf’ahnya sebab
kepemilikan barang tersebut tanpa ganti. Tindakan pembeli yang telah didahului
oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil, sebab Syafi’i telah
melaksanakan haknya dan ada kemungkinan pembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i.
Apabila seseorang bardamai dalam masalah syuf’ah atau
menjualnya dari pembeli, menurut al-Syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan
bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan
benda-benda yang telah dia ambil. Menurut Imam Hanafi, Maliki dan hanbali
perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia
miliki dari pembeli.
KESIMPULAN
Al-Syuf’ah
menurut bahasa berarti teman sekongsi atau serikat, Sedangkan menurut istilah
ialah :
Hak
Prioritas yang diberikan kepada pihak (serikat) terdahulu atas pihak (serikat)
yang baru terhadap kepemilikan yang bisa diperjualbelikan dengan jalan paksaan
Rukun
Syuf’ah
·
Syaaf’i,
orang yang melakukan syuf’ah
·
Masyfu,
obyek syuf’ah
·
Masyfu
minhu, orang yang dilakukan suf’ah dari padanya
Lahan
yang wajib dan tidak wajib dihukumi Syuf`ah
·
Harta
yang tidak bergerak (real estate)
·
Harta
yang tetap/permanen.
·
Harta
yang bisa dibagi.
Suatu hal yang perlu disebutkan disini adalah
bahwa adanya syuf’ah ini diatur oleh agama adalah untuk memelihara ketenangan
dan keutuhan para pemilik harta bersama itu dari berbagai gangguan, baik
gangguan terhadap hak milik atau ketenangan para anggota. Dalam hal ini unsur
ketentraman dan kedamaian sebagai salah satu asas dalam lapangan muamalah,
haruslah benar benar diperhatikan. Berangkat dari sasaran ingin menciptakan
ketenangan dalam kelompok perkongsian itu, maka inti pokok dari bagaimana cara
pembagian masyfu’ serta berapa kadar bagian masing masing haruslah dikembalikan
kepada kesepakatan masing masing anggota perserikatan atau kepada kebiasaan
yang berlaku di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Suhendi,
Hendi. Dr. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
2.
Salim,
Syaikh bin 'Ied al-Hilali. 2006. Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis
Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan
As-Sunnah, , terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006),
hlm. 1/301-304.
3.
Osman,
Hadi. 2001. Pedoman Muamalat dan Munakahat. Singapura : Pustaka Nasional, hlm.
93
4.
Sabiq,
Sayyid. Fiqh al Sunnah. jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hlm. 219
5.
Rusyd.
Ibnu, 1960. Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa
Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,), hlm. 193.
6.
Karim,
Helmi, Drs. M.A., 1993. Fiqh Muamalah, Rajawali Press, , hlm. 6.
[1]
hadist diriwayatkan oleh muslim dan nasai
[2]
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah
wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 193.
[3]
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal
[4]
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
[5]
Drs. Helmi Karim, M.A., Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hlm.
6.
[6]
Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi
[7]
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah
wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195
[9]
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr,
1983), hlm. 223.
[10]
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah
wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar